Pengorbanan ayah tak pernah ada alasan “kenapa” dan “ada apa”, yang ia
tahu hanya demi kita – Bulan-
Senja merekah menenggelamkan dunia. Matahari perlahan menghilang di ufuk
barat. Dan gelap, mulai merangkak pertanda malam akan segera tiba. Aku di sini,
terpaku sendiri di sudut kamar kos. Ada resah menyelubung, ada gundah yang
membuncah. Mungkinkah rasa tak menentu ini adalah sebuah pertanda? Atau mungkin
hanya sebuah rasa biasa yang tak ada artinya? Aku masih tetap terpaku, membisu.
Pada siapa pula aku harus bertanya? Sementara di rumah kos ini, hanya aku
sendiri penghuninya. Dan, sekeras apapun otakku berpikir, bermacam tanya yang
berjejalan dalam rongga kepalaku tetap tidak terpecahkan. Aku tak mengerti, apa
yang sebenarnya terjadi.
Ah, tiba-tiba saja aku teringat pada Ayah. Keriput yang mulai menghiasi
wajahnya, melintas bagai halilintar dalam anganku. Imajinasiku melayang,
mengingat kisah laluku di waktu kecil bersamanya. Dulu, ketika aku bandel dan
Ibu sering memukulku, Ayah adalah orang pertama yang membelaku. Dulu, saat aku
menangis karena Ibu tak menuruti kemauanku, maka Ayah pula orang pertama yang
menenangkanku. Dan ketika tak seorang pun memepercayai ucapanku, maka Ayah
adalah orang pertama yang dengan ikhlas tersenyum dan berkata, “Nak, Ayah
mempercayaimu. Ayah yakin, kamu tidak bersalah dalam hal ini,”. Tiba-tiba saja
kristal bening berloncatan dari mataku. Aku merindukan masa-masa itu. Masa di
mana aku dulu sangat dekat dengan Ayah.
Ayah adalah seorang pekerja keras. Hanya de
mi keluarga, ia rela pulang
hingga larut, di mana orang-orang telah terlelap dalam mimpi. Ya, waktu itu
Ayah harus menyekolahkan empat anaknya. Aku, dan ketiga kakakku. Tentu saja,
perjuangan tersebut bukanlah perjuangan mudah. Ayah harus bekerja keras membanting
tulang demi menghidupi keluarga. Meski lelah yang kuyakin begitu dirasakannya,
namun setiap saat tak pernah kulihat wajahnya mengguratkan kesedihan. Ia
senantiasa menyunggingkan senyum yang membuat hatiku damai. Ah Ayah, aku
merindukanmu. Teramat sangat merindukanmu.
Ayahku memang bukanlah tipe orang yang hanya berpangku tangan pasrah
terhadap nasib. Dengan segala daya upaya, Ayah selalu berusaha menyenangkan
kami dan memenuhi kebuAllah kami. Dulu, aku mungkin boleh merasa senang karena
memiliki Ayah hebat seperti Ayahku. Meski aku tahu bahwa kami terlahir bukan
dari anak orang kaya, namun entah bagaimana caranya Ayah selalu membelikan
barang yang kami mau. Padahal, jika dipikir secara logika, keuntungan Ayah dari
berjual beli ayam tidaklah seberapa. Belum lagi untuk mencukupi kebuAllah
sehari-hari, untuk biaya sekolah kami dan keperluan lainnya.
Pernah, aku sangat ingin memiliki sepeda. Melihatku yang seringkali hanya
bisa menyaksikan teman-temanku bermain sepeda, Ayah pun berusaha untuk
membelikanku sepeda. Aku merasa sangat bahagia karena akhirnya keinginanku
untuk bisa bersepeda layaknya teman-teman lain pun kesampaian.
Tentu saja awalnya aku belumlah bisa bersepeda karena selama itu aku hanya
mampu menyaksikan teman-teman bersepeda dari kejauhan tanpa pernah mencoba.
Karenanya, Ayahlah yang senantiasa meluangkan waktunya untuk mengajariku
bersepeda sepulangnya dari pasar. Kutahu betapa lelahnya ia yang baru saja
pulang dari pasar dengan keringat bercucuran masih harus mengajariku naik
sepeda. Meski demikian, tak pernah sekali pun Ayah mengeluh.
Dengan setia Ayah selalu mengikutiku dari belakang karena khawatir terjadi
apa-apa denganku. Maka ketika aku terajatuh dari sepeda, Ayah adalah orang
pertama yang begitu panik melihatku terguling ke tepian jalan. Dengun rengkuhan
tangannya yang kokoh, Ayah membopongku yang waktu itu baru berusia sepuluh
tahun. Ah Ayah, aku membayangkan andai saja kini aku bisa kembali menikmati
kebersamaan itu. Aku pasti takkan pernah menyia-nyiakannya.
*******
Aku
justru teringat kepahlawanan ibu dan ayahku sendiri. Bagiku, keduanya adalah
betul-betul pahlawan. Ayah dan ibu telah merawat saya sejak lahir hingga dewasa
dengan penuh kasih sayang. Untuk kepentingan semua anak-anaknya, mereka tidak
pernah mengatakan lelah, capek, takut resiko, dan juga harus berkorban apa
saja. Apapun dilakukan olehnya untuk kepentingan anak-anaknya.
Sebagai
orang desa, merawat dan apalagi menyekolahkan anak ke kota bukan tugas ringan.
Pada setiap bulan, mereka harus mengeluarkan uang untuk kost, membeli alat
sekolah, dan juga membayar SPP. Pada saat itu, tidak sebagaimana sekarang,
belum ada istilah beasiswa. Semua anak yang bersekolah harus membayar uang
gedung, atau disebut uang pangkal, SPP., dan lain-lain.
Betapa
beratnya mencukupi kebutuhan sekolah, kedua orang tuaku berusaha untuk
memenuhi. Bahkan tatkala kebutuhan itu tidak cukup, dan tidak ada lagi sesuatu
yang bisa dijual, maka hutang ke tetangga pun dijalani. Oleh karena sedemikian
banyak anak-anaknya yang harus dibiayai, maka ayah pernah menyampaikan keluhan
kepada ibu, yang sempat saya dengar, bahwa besar hutangnya lebih banyak dari
jumlah bulu yang ada di seluruh tubuhnya. Mendengar kalimat yang mengenaskan
itu, tentu saya sangat terharu dan merasa telah membebani kedua orang tuaku sedemikian
berat.
Suatu
ketika, agar beban itu tidak terlalu berat, aku meminta ijin berhenti saja
sekolah. Aku ingin adik-adikku saja yang melanjutkan belajar ke kota. Usulanku
tersebut ternyata ditolak, dan bahkan beliau menjadi marah.
Ayah
ketika itu memperkukuh pendapatnya, bahwa sekolah lebih penting dari semua hal
lainnya, termasuk membantu pekerjaan di rumah. Akhirnya, aku berangkat lagi ke
kota, dengan sepeda angin tua, satu-satunya alat transportasi yang selaluku
gunakan.
Beban
orang tua menjadi bertambah berat lagi ketika saya meneruskan pendidikian ke
perguruan tinggi. Sewaktu masih belajar di sekolah menengah, sekalipun harus pulang
pergi jarak dari rumah ke kota tidak terlalu jauh. Sekolah menengah itu
terletak di kota kabupaten.
Pulang
pergi dari desa ke kota besar dimaksud, tidak bisa lagi dengan menggunakan
sepeda angin, melainkan harus naik bus. Untuk ukuran anak desa ketika itu,
biaya transportrasi tersebut bukan hal yang ringan.
Betapa
gigih dan keikhlasan yang ditunjukkan oleh kedua orang tuaku, agar diriku dan
juga adik-adikku bisa sekolah hingga tamat. Kegigihan itu bisa dilihat
misalnya, dari suatu ketika, oleh karena kain sarung ayah yang digunakan
sehari-hari sudah tua, bahkan beberapa bagian sudah berlubang, ibu bermaksud
membelikannya yang baru. Semula ayah menyetujui. Akan tetapi, karena sore sebelum
pagi berangkat ke pasar, aku datang dan pasti memerlukan uang, maka ayah
meminta ibu, agar niat membeli sarung baru tersebut diurungkan. Ayah
menyampaikan bahwa biaya sekolah lebih penting dari sekedar membeli sarung
baru.
Bagi
orang desa yang pengahasilannya hatidak besar, maka untuk hidup sehari-hari dan
apalagi harus mencukupi kebutuhan biaya sekolah beberapa orang anaknya,
bukanlah beban yang ringan. Beban itu sangat berat, dan lebih-lebih lagi di
musim sawah tidak panen, karena diganggu hama, atau pepohonan seperti durian,
manggis, cengkih, dan lain-lain karena musim kemarau panjang hingga tidak
berbuah, maka untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya sekolah, kadang terpaksa
harus hutang ke tetangga kanan kiri.
Uraian
tentang betapa berat beban kedua orang tua seperti yang aku kemukakan tersebut,
sebenarnya belum seberapa. Masih banyak cerita yang lebih mengharukan lagi,
sebagai bentuk perjuangan orang tua agar anak-anaknya sukses sekolahnya, hingga
katanya, supaya menjadi orang.
Orang
tua menginginkan agar anak-anaknya menjadi orang yang berilmu sehingga kelak
bisa mengabdikan dirinya di tengah masyarakat. Ayah selalu memberikan doktrin,
bahwa hidup itu jangan sampai seperti bandul, yaitu benda yang
keadaannya baru bergerak ketika digerak orang. Bandul sebagai sebutan terhadap
orang yang bodoh dan tidak berilmu pengetahuan. Hidup yang baik, menurut ayah
dan ibu, adalah yang bisa menggerakkan orang lain dan bukan sebatas yang digerakkan.
Cita-cita,
usaha, bimbingan, dan sekaligus pengorbanan yang sedemikian besar. Hal itu
tidak terkecuali adalah kedua orang tua saya sendiri, sekalipun hanya sebagai
pemuka agama dan guru, yang berjuang agar anak-anaknya memberikan manfaat bagi
bangsa, maka aku anggap sebagai pahlawan. Kepahlawanan dimaksud
setidak-tidaknya adalah bagi diriku sendiri.
*******
Ayahku
Hebat..
Ini
adalah bayangan kenangan yang ku rasakan dan ku bayangkan. Catatan penglihatan
melalui fenomena keseharian, mengatakan bahwa Ayahku adalah seorang yang hebat.
Disamping pekerjaannya yang begitu padat, Ayah juga adalah seorang mekanik
handal. Mengapa dikataan demikian?? Karena dengan pengetahuannya yang hanya
lulusan STM (Kejuruan), tetapi Ayah dapat dan bisa mengatasi kelistrikan,
elektro, mesin, dan bahkan rumah tangganya sekalipun. "hehe..hebat
bukan?". Bongkar pasang bahkan membuat rakitan apapun, dapat Ayah kerjakan
dengan baik, tepat, paten, dan dijamin hasilnya memuaskan.. !
Ayahku
Hebat..
Selama
aku tumbuh dewasa ini, aku sering kali menyaksikan banyak perubahan, terutama
di rumah yang ku huni (Tempat tinggalku). Ayah yang dahulu memiliki motor satu
kini menjadi dua, yang dahulu rumah sepetak kini indah bertingkat, yang dulu
gak punya mobil kini punya, dan yang dahulu rumah terlihat kecil kini
lebaarrrrr..! Semua tentu karena kerja kerasnya dan juga kasih akungnya.
Ayahku
Hebat..
Hobi
yang unik dan menarik dari ayahku adalah ngutak-ngatik listrik dan elektronik,
tapi yang pasti hebat dan jarang dilakukan oleh kebanyakan ayah dimana-mana
adalah "Suka bersih-bersih dan Apik". Di atas, dibawah,
dan dimanapun Ayahku, pasti beliau sedang bersih-bersih saat aku melihat
ataupun tidak.
Ayahku
Hebat..
Itulah
yang menjadi kebanggaan buatku. Walaupun dalam keadaan capek pulang kerja, tetapi
ketika berada di rumah Ayah tidak pernah diam dan bahkan lupa istirahat untuk
pekerjaan-pekerjaan yang ada di rumah. Ayah gak pernah ngeluh, dan Ayahku juga
seorang yang penyabar. Ketika pulang dari kerjaanpun, Ayah tidak pernah marah
atau bahkan meminta untuk di hidangkan makanan jika tidak ada.
Ayahku
Hebat..
Pahlawan
tanpa tanda jasa. Itulah sebutan yang juga layak tersandang di pundak seorang
ayah, tidak hanya untuk guru semata. Betapa tidak, ayah adalah sosok yang tidak
bisa untuk tidak ada dalam kehidupan kita. Ayah menjadi tulang punggung
keluarga. Bahkan terkadang lebih dari itu.
Ayah
selalu berusaha membahagiakan seluruh isi rumahnya, meskipun itu hanya sebuah
nasi bungkus hangat ketika pulang dari kerja. Membawa makanan pulang tanpa
berfikir akan kecewa kalau orang-orang yang ada di rumahnya sudah makan. Bahkan
terkadang makanan yang dibawanya harus habis tanpa harus dirinya ikut
merasakannya juga.
Seringkali
memang sosok ayah sangat disegani bahkan ditakuti, baik istri maupun anaknya.
Namun, bukan berarti bahwa disegani harus dipuja melebihi pemujaan kita
terhadap Allah. Segan dan takut pada sosok ayahpun tidaklah harus berlebihan
sebab akan merenggangkan keharmonisan hubungan cinta dan kasih dalam keluarga.
Pahlawan
tanpa tanda jasa pantas disematkan pada ayah. Sosok
yang tak pernah letih untuk mencari nafkah untuk keluarga. Mencari sesuap nasi
dan sekarung berlian harus dipikul ayah. Beban berat keluarga bertumpu pada
pundak ayah. Sosok tegar meskipun sebenarnya akan rapuh disaat yang membuatnya
memang benar-benar luluh.
Bagiku,
ayah pantas disebut pahlawan. Pahlawan tak mesti bersenjata dan bertubuh kekar.
Pahlawan adalah sosok yang mampu mengalahkan apa saja yang akan menghancurkan.
Tanpa senjata, ayah juga pahlawan. Pahlawan bagi istri dan anak-anaknya. Dan
juga untuk semua keluarganya.
Menjadi
pahlawan ayah tidak pernah meminta balas jasa atau tanda jasa. Semua
dilakukannya dengan niat membawa keluarganya pada kebahagiaan. Kerikil tajam
dan ringan dilalui dengan kemahiran menahkodai sebuah rumah tangga. Rumah
tangga yang lebih kompleks dari sekedar mengendalikan sebuah kapal raksasa.
Sebuah komunitas pribadi yang nasibnya sangat ditentukan oleh sikap pahlawan
dari sang ayah.
Pahlawan
tak mesti dengan segala bentuk peralatan perang untuk mengantisipasi sebuah
invasi serangan, namun sosok ayah sebagai pahlawan adalah sebuah figur yang
harus menyiapkan mental dan logikanya untuk keluar dari sebuah permasalahan
yang besar. Kepiawaian sosok ayah sebagai pahlawan dalam menghadapi berbagai
jenis masalah dalam rumah tangga adalah keharusan dalam kamus kehidupan sosok
ayah. Ayah harus tampil di depan sebagai penopang dan juga pemimpin.
Ayah
adalah pahlawanku. Betapapun sulitnya menahkodai sebuah rumah tangga, tak
pernah mengenal letih untuk terus berjuang. Bekerja dan terus bekerja hingga
masa tutup usia. Mengerahkan segala tenaga dan membayarnya dengan kerja keras
menjadikan sosok ayah pantas disebut sebagai pahlawan. Meskipun pahlawan dalam
skala kecil. Sebab, semua yang besar akan bermula dari awal yang kecil.
Itulah
yang akan ku katakan pada semua orang, bahwa aku sangat beruntung memiliki Ayah
sepertinya..??? Jadi, aku akan selalu mengatakan bahwa "Ayahku
Hebat.."
*******
Ayah….
Saat
aku menuliskan ini, aku sedang duduk sendiri di bawah pohon tepat dimana dulu aku
dan ayahku menanamnya bersama, Dan sekarang tempat ini menjadi tempatku
menuliskan setiap sepiku, mengukir kepingan pilu yang sebagian terukir
pada nisanmu dan sebagian lagi tersimpan pada pesona senja yang menghilang pada
langit kelam. Senyum tulusmu serupa lengkung sabit perak diatas angkasa masih
saja selalu menemani tidurku yang lelap menghias lembar hari dimana aku masih
belum juga bisa berdamai dengan kerelaan.
Ayah….
Sampai
saat ini aku masih mengeja dan meraba mengenali setiap rasa yang menjelma dalam
setiap hariku. Aku mulai lelah berteman sunyi dalam kamar penuh debu, tembok
dinding berlubang sesisa lukisanmu yang kini usang, terperangkap pada kelambu
keheningan dan berada dalam ruang yang semakin pengap. Aku jenggah terus
bersama dengan diri yang tak pernah mau mengerti dan menerima akan titah - Nya,
sungguh aku masih merindukanmu.
Aku
masih disini Ayah, masih tetap menahan bulir kristal yang tak henti menerobos
benteng pelupuk mata, kembali memungut semua sisa kenangan kita dulu dengan
memandangi langit senja dan mulai menanti hujan. Karena setelah hujan turun
maka keindahan pelangi akan datang menggantikan hujan, itu yang dulu selalu
ayah katakan saat aku mulai mengeluh dengan penatku.
Senja
ini hujan turun dengan ritme lembutnya, suara indah rintik-rintik kecilnya
jatuh pada seng usang penutup rumah kita tedengar seperti nyanyian malaikat
kecil dengan biola mungil mereka. Suaranya syahdu mengalahkan sendu yang selalu
merengkuh pilar-pilar sepiku akan kehadiranmu.
Ayah….
Aku
benci dengan waktu yang selalu tak bersahabat ini, waktu yang selalu memberi
pemisah pada kita untuk saling bercengkrama. Aku juga benci dengan
cerita-cerita mereka tentang kebahagian yang mereka dapatkan dari malaikat
pelindung yang selalu mereka sebut ayah.
Aku
ingin ayah selalu ada untukku, ada dalam setiap ceritaku dan ada tak hanya
dalam mimpiku. Tapi aku tahu, Allah telah menuliskan semua ini dengan sejuta
keindahan didalamnya, aku percaya bahwa Allah jauh lebih memahamiku
dibandingkan diriku sendiri.
Ayah….
Akan
kutitipkan rinduku pada deras hujan yang kan berganti dengan bias indah pelangi
nanti untukmu. Aku sungguh merindukanmu, mengalahkan rindu padang tandus akan
hujan.
Ayah
Semakin
aku dewasa semakin jarang aku berkomunikasi denganmu, aura wibawamu begitu
kental terasa. Engkau pendiam sekali, hampir jarang aku bertegur sapa dengan
dirimu. Meski begitu tak pernah aku meragukan kasihmu padaku.
Ayah...
Tubuhmu
jarang berisi, pernah mungkin, namun dulu sekali. Wajahmu penuh beban dan
pikiran. Ayah, bisakah kau berbagi cerita padaku, perihal risaunya hatimu walau
hanya secuil saja. Bolehkah aku tahu? Apa yang bisa aku lakukan untuk membuatmu
lebih damai? Ayah, apakah engkau bahagia atau pernahkah kau bahagia beberapa
tahun belakangan kami semenjak engkau memiliki kami? Ayah, apakah kau pernah
menangis? aku tidak pernah melihatmu menangis seumur hidupku. Mengapa kau
begitu tegar? Ayah, apakah semua ayah di dunia pendiam sepertimu? apakah semua
ayah di dunia berpura-pura bahagia sepertimu di depan kami padahal di belakang
kami engkau penuh tekanan dan beban serta kesedihan..?
Ayah
Kami
tiga anakmu yang kau sayangi, tak sempat kau tertidur pulas dikarenakan
kecemasanmu akan masa depan kami. Kami yang bahagia nantinya engkau yang
sengasara dan bersusah payah awalnya.
Ayah
Tak
pernah kau dahulukan kepentinganmu di atas kepentingan kami. Bagimu, apa yang
kami butuhkan lebih penting dan itulah prioritas dalam catatan keseharianmu.
Ayah, apakah semua ayah di dunia sepertimu? Aku yakin semua ayah di dunia pasti
sepertimu. Jika tidak sepertimu aku ragu, apakah mereka-mereka itu benar-benar
pantas disebut "Ayah".
Ayah
tercinta
Saat
itu aku kelas tiga sma, mendapat surat undangan, pemilihan jurusan. Aku tanya
pilih jurusan apa, kau sarankan kedokteran saja, kau ingin aku jadi seseorang
yang berdedikasi bagi orang lain dan kau juga sempat mengungkit bahwa dokter
adalah cita-citaku dulu sewaktu aku masih duduk di Taman Kanak-kanak.
Ayah
Memang
saat aku masih kanak-kanak asal saja ku sebut profesi itu namun perlahan menjelang
dewasa, seiring waktu aku semakin bingung akan jadi apa aku, aku tidak memiliki
peta hidup. Jangan salahkan aku ayah, sistem pendidikan Indonesia layaknya
mesin yang mengubah anak-anak sepertiku menjadi beo, asal ikut arus saja,
kurang kreativitas, menyedihkan..tidak punya tujuan, miris kan yah? ayah aku
tidak tahu apa yang aku mau, aku tujuh belas tahun saat itu.
Ayah
Pilihan
masuk universitas adalah dilema, aku benar-benar bingung. Yang benar saja ayah,
biaya itu cukup mahal untuk kemampuan finansial kita, belum lagi anak-anak yang
berkuliah disana rata-rata punya orangtua yang berpendapatan tinggi, mampukah
aku menyesuaikan diri dengan mereka nantinya.
Ayah
Begitu
mengerikan aku membayangkan hal itu, aku takut menghadapinya, aku takut jadi
stress karena tidak mampu mengikuti lifestyle teman-temanku kelak,
aku takut tidak punya teman,
Ayah
Saat
itu kau hanya tersenyum mendengar protesku, jawabanmu sederhana "masalah
uang adalah masalaku bukan masalahmu jadi tak perlu kau pikirkan, tugasmu
adalah berusaha dan belajar giat dan tak mengecewakan aku, masalah takut
terpengaruh gaya hidup itu wajar dan aku yakin kamu bisa mengatasinya"
Ayah
Kau
begitu percaya aku. Aku hanya bisa diam dalam hati aku meragu, mampukah
aku menjadi seperti yang kau duga
Ayah
Umurku
sudah dua puluh dua tahun, dan bulan Oktober tahun depan akan naik menjadi dua
puluh tiga,sedihnya, aku masih saja menjadi gadis kecil yang menjadi beban
dalam hidupmu walau kau tak pernah menganggapku demikian. Ayah, terima kasih
karena sejak aku kecil, telah banyak hal yang kau persiapkan untuk masa
depanku.
Pernah
suatu hari engkau berkata, "anakku mungkin ayah tak bisa wariskan
banyak harta dan tanah, ayah cuma mampu sekolahkan kalian setinggi mungkin
semampu ayah, supaya kalian jadi anak yang berpendidikan, tidak direndahkan
banyak orang, santun sikapnya, rajin ibadahnya, ayah dan ibu tak harap balasan
uang jika kalian sukses nanti, ayah cuma harap kalian bahagia jika ayah tiada,
akur dengan adik, kakak dan abang, saling bahu membahu, jangan bertengkar
, sedih hati ayah melihat kalian bertikai, saat ayah tiada nanti, ayah
ingin kalian hidup dalam damai dengan begitulah ayah bisa hidup dalam damai,
apa yang ayah lakukan ini iklas, karena kalian tanggung jawab ayah dengan
Allah..dan bila kau sukses nanti, lantas janganlah kau jadi anak yang sombong,
ingatlah masa lalu dan kerasnya hidup yang kau lalui di masa lalu, jangan
berhenti bersyukur atas apa yang kau raih kelak, bantu kedua adikmu jika mereka
butuh bantuan kelak"
Ayah
kata-katamu buatku begitu haru, setelah kau berlalu perlahan aku menyusup dalam
kamar, mendekamkan bibir ke bantal, menangis tertahan, aku takut kau
mendengarkan tangisku. Aku anak gadismu yang kuat, aku tak ingin terlihat lemah
di depanmu, aku ingin terus jadi kebanggaanmu, membawa nama baikmu hingga suatu
saat kau dan ibu bisa tersenyum dan berkata "itu anak gadisku dan
pengorbananku tidak sia-sia".
Ayah
Sebelumnya
aku minta maaf. Aku terkadang juga pernah nakal, berfoya-foya tak sesuai
pemasukan, seharusnya aku bisa lebih hemat, seharusnya aku bisa lebih
sederhana, seharusnya aku sadar posisiku seperti apa. Uang gaji dari bekerja
jarang ku tabung malah ku habiskan untuk jajan, beli baju, beli make up untuk
berhias untuk terlihat cantik, ah, benar-benar aku tidak bersyukur. aku sadar
diri, aku menyesal, kenapa aku tak menabung hasil jerih payahku dulu.
Kenapa
ku habiskan begitu saja untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. kenapa aku tidak
jujur saja ke teman-temanku jika aku tak mampu mengikuti gaya hidup mereka
sejak dulu, kenapa aku begitu gengsi untuk mengakui kondisiku sendiri. Ah,
ayah, darahku di penuhi jiwa muda yang menggelora, banyak sekali hal-hal
duniawi yang aku inginkan, ingin ini ingin itu, ingin sepatu ini ingin sepatu
itu, andaikan aku lebih bersabar untuk saat itu, tak terlalu memikirkan akan
hal itu. Ayah, aku menyesalinya sekarang.
Ayah
Aku
juga terkadang menyakitimu secara terang-terangan atau sembunyi sembunyi, andai
kau tahu bagaimana aku yang sebenarnya, apakah kau mau memaafkan aku? apakah
kau masih akan membanggakan aku seperti dulu. Ayah jika aku sedang mencintai
orang lain melebihi cintaku padamu apa kau cemburu?
Ayah
Aku
malu sekali, malu karena aku tak secemerlang yang kau harapkan. Aku lulus
gelombang dua ayah, bukan gelombang satu dan aku tak bisa meraih predikat cum
laude. Pasti ayah dan ibu dari teman-temanku yang Cumlaude
bahagia dan bangga sekali pada anaknya ya kan Ayah? aku yakin saat kau menonton
proses judisium dan wisudaku dari jauh dalam hati kau berharap nama anakmu yang
tersemat dengan predikat itu, ah, kenyataannya tidak seperti itu, Aku malu ,
aku kecewa pada diriku sendiri, tapi di sudut sana aku melihat sinar matamu
menatapku bangga, aku yang tanpa predikat apa-apa, aku yang hanya mendapat
gelar Kepustakaan dengan predikat sangat memuaskan. Kau tersenyum senang, jelas
aku melihat matamu berkaca-kaca. Ayah, apakah kau juga bisa melihat mataku, aku
juga berkaca-kaca. Ayah terima kasih. Terima kasih kau masih bangga padaku.
Ayah
Mungkin
aku sedikit egois, walau engkau lelah hidup di dunia ini dengan beban segunung,
namun aku selalu terus berdoa pada Allah agar Ayah dan ibu diberi umur
panjang.. Aku ingin membahagiakan kalian terlebih dahulu. Aku ingin membawa
jalan-jalan kalian dengan mobilku kelak, aku ingin kita berhaji bersama, aku
ingin kita melepas lelah bersama, aku ingin kalian menikmati masa-masa tua
kalian dengan bahagia, tidak seperti sekarang, hidup penuh tensi dan
problematika. Aku ingin kalian merasakan kesuksesanku kelak karena jika aku
sukses itu bukan mutlak jerih payahku, itu jerih payah ayah dan ibu. Allah,
beri ayah ibu waktu untuk merasakan kesuksesan kami anak-anaknya kelak.
Ayah
aku
tak berani mengirimkan tulisan - tulisanku inii. Engkau pasti sedih membacanya,
aku tidak ingin membuatmu sedih, Mungkin lain waktu, saat kelak ceritanya sudah
berbeda. Saat aku sudah jadi "orang" yang kucita-citakan, di saat itu
nanti akan ku selipkan surat ini di pangkuanmu, supaya engkau tahu betapa
aku menyayangi dan menghargai setiap tetes peluh perjuanganmu.
Ayah
Saat
ini, tulisanku ini ku bukukan dalam perjalan kisahku. Ayah, setiap tetes
perjuangan ayah akan ada dalam setiap jejak langkahku.
Aku
mencintaimu.
Putrimu
tercintamu
Bulan
Oktaria
0 komentar:
Posting Komentar