RSS
Selamat datang di bundabikay.blogspot.com... welcome to bundabikay.blogspot.com

Untukmu Ayah



Pengorbanan ayah tak pernah ada alasan “kenapa” dan “ada apa”, yang ia tahu hanya demi kita – Bulan-

Senja merekah menenggelamkan dunia. Matahari perlahan menghilang di ufuk barat. Dan gelap, mulai merangkak pertanda malam akan segera tiba. Aku di sini, terpaku sendiri di sudut kamar kos. Ada resah menyelubung, ada gundah yang membuncah. Mungkinkah rasa tak menentu ini adalah sebuah pertanda? Atau mungkin hanya sebuah rasa biasa yang tak ada artinya? Aku masih tetap terpaku, membisu. Pada siapa pula aku harus bertanya? Sementara di rumah kos ini, hanya aku sendiri penghuninya. Dan, sekeras apapun otakku berpikir, bermacam tanya yang berjejalan dalam rongga kepalaku tetap tidak terpecahkan. Aku tak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi.
Ah, tiba-tiba saja aku teringat pada Ayah. Keriput yang mulai menghiasi wajahnya, melintas bagai halilintar dalam anganku. Imajinasiku melayang, mengingat kisah laluku di waktu kecil bersamanya. Dulu, ketika aku bandel dan Ibu sering memukulku, Ayah adalah orang pertama yang membelaku. Dulu, saat aku menangis karena Ibu tak menuruti kemauanku, maka Ayah pula orang pertama yang menenangkanku. Dan ketika tak seorang pun memepercayai ucapanku, maka Ayah adalah orang pertama yang dengan ikhlas tersenyum dan berkata, “Nak, Ayah mempercayaimu. Ayah yakin, kamu tidak bersalah dalam hal ini,”. Tiba-tiba saja kristal bening berloncatan dari mataku. Aku merindukan masa-masa itu. Masa di mana aku dulu sangat dekat dengan Ayah.
Ayah adalah seorang pekerja keras. Hanya de
mi keluarga, ia rela pulang hingga larut, di mana orang-orang telah terlelap dalam mimpi. Ya, waktu itu Ayah harus menyekolahkan empat anaknya. Aku, dan ketiga kakakku. Tentu saja, perjuangan tersebut bukanlah perjuangan mudah. Ayah harus bekerja keras membanting tulang demi menghidupi keluarga. Meski lelah yang kuyakin begitu dirasakannya, namun setiap saat tak pernah kulihat wajahnya mengguratkan kesedihan. Ia senantiasa menyunggingkan senyum yang membuat hatiku damai. Ah Ayah, aku merindukanmu. Teramat sangat merindukanmu.
Ayahku memang bukanlah tipe orang yang hanya berpangku tangan pasrah terhadap nasib. Dengan segala daya upaya, Ayah selalu berusaha menyenangkan kami dan memenuhi kebuAllah kami. Dulu, aku mungkin boleh merasa senang karena memiliki Ayah hebat seperti Ayahku. Meski aku tahu bahwa kami terlahir bukan dari anak orang kaya, namun entah bagaimana caranya Ayah selalu membelikan barang yang kami mau. Padahal, jika dipikir secara logika, keuntungan Ayah dari berjual beli ayam tidaklah seberapa. Belum lagi untuk mencukupi kebuAllah sehari-hari, untuk biaya sekolah kami dan keperluan lainnya.
Pernah, aku sangat ingin memiliki sepeda. Melihatku yang seringkali hanya bisa menyaksikan teman-temanku bermain sepeda, Ayah pun berusaha untuk membelikanku sepeda. Aku merasa sangat bahagia karena akhirnya keinginanku untuk bisa bersepeda layaknya teman-teman lain pun kesampaian.
Tentu saja awalnya aku belumlah bisa bersepeda karena selama itu aku hanya mampu menyaksikan teman-teman bersepeda dari kejauhan tanpa pernah mencoba. Karenanya, Ayahlah yang senantiasa meluangkan waktunya untuk mengajariku bersepeda sepulangnya dari pasar. Kutahu betapa lelahnya ia yang baru saja pulang dari pasar dengan keringat bercucuran masih harus mengajariku naik sepeda. Meski demikian, tak pernah sekali pun Ayah mengeluh.
Dengan setia Ayah selalu mengikutiku dari belakang karena khawatir terjadi apa-apa denganku. Maka ketika aku terajatuh dari sepeda, Ayah adalah orang pertama yang begitu panik melihatku terguling ke tepian jalan. Dengun rengkuhan tangannya yang kokoh, Ayah membopongku yang waktu itu baru berusia sepuluh tahun. Ah Ayah, aku membayangkan andai saja kini aku bisa kembali menikmati kebersamaan itu. Aku pasti takkan pernah menyia-nyiakannya.
*******
Aku justru teringat kepahlawanan ibu dan ayahku sendiri. Bagiku, keduanya adalah betul-betul pahlawan. Ayah dan ibu telah merawat saya sejak lahir hingga dewasa dengan penuh kasih sayang. Untuk kepentingan semua anak-anaknya, mereka tidak pernah mengatakan lelah, capek, takut resiko, dan juga harus berkorban apa saja. Apapun dilakukan olehnya untuk kepentingan anak-anaknya.
Sebagai orang desa, merawat dan apalagi menyekolahkan anak ke kota bukan tugas ringan. Pada setiap bulan, mereka harus mengeluarkan uang untuk kost, membeli alat sekolah, dan juga membayar SPP. Pada saat itu, tidak sebagaimana sekarang, belum ada istilah beasiswa. Semua anak yang bersekolah harus membayar uang gedung, atau disebut uang pangkal, SPP., dan lain-lain.
Betapa beratnya mencukupi kebutuhan sekolah, kedua orang tuaku berusaha untuk memenuhi. Bahkan tatkala kebutuhan itu tidak cukup, dan tidak ada lagi sesuatu yang bisa dijual, maka hutang ke tetangga pun dijalani. Oleh karena sedemikian banyak anak-anaknya yang harus dibiayai, maka ayah pernah menyampaikan keluhan kepada ibu, yang sempat saya dengar, bahwa besar hutangnya lebih banyak dari jumlah bulu yang ada di seluruh tubuhnya. Mendengar kalimat yang mengenaskan itu, tentu saya sangat terharu dan merasa telah membebani kedua orang tuaku sedemikian berat.
Suatu ketika, agar beban itu tidak terlalu berat, aku meminta ijin berhenti saja sekolah. Aku ingin adik-adikku saja yang melanjutkan belajar ke kota. Usulanku tersebut ternyata ditolak, dan bahkan beliau menjadi marah.  
Ayah ketika itu memperkukuh pendapatnya, bahwa sekolah lebih penting dari semua hal lainnya, termasuk membantu pekerjaan di rumah. Akhirnya, aku berangkat lagi ke kota, dengan sepeda angin tua, satu-satunya alat transportasi yang selaluku gunakan.
Beban orang tua menjadi bertambah berat lagi ketika saya meneruskan pendidikian ke perguruan tinggi. Sewaktu masih belajar di sekolah menengah, sekalipun harus pulang pergi jarak dari rumah ke kota tidak terlalu jauh. Sekolah menengah itu terletak di kota kabupaten.
Pulang pergi dari desa ke kota besar dimaksud, tidak bisa lagi dengan menggunakan sepeda angin, melainkan harus naik bus. Untuk ukuran anak desa ketika itu, biaya transportrasi tersebut bukan hal yang ringan.
Betapa gigih dan keikhlasan yang ditunjukkan oleh kedua orang tuaku, agar diriku dan juga adik-adikku bisa sekolah hingga tamat. Kegigihan itu bisa dilihat misalnya, dari suatu ketika, oleh karena kain sarung ayah yang digunakan sehari-hari sudah tua, bahkan beberapa bagian sudah berlubang, ibu bermaksud membelikannya yang baru. Semula ayah menyetujui. Akan tetapi, karena sore sebelum pagi berangkat ke pasar, aku datang dan pasti memerlukan uang, maka ayah meminta ibu, agar niat membeli sarung baru tersebut diurungkan. Ayah menyampaikan bahwa biaya sekolah lebih penting dari sekedar membeli sarung baru.
Bagi orang desa yang pengahasilannya hatidak besar, maka untuk hidup sehari-hari dan apalagi harus mencukupi kebutuhan biaya sekolah beberapa orang anaknya, bukanlah beban yang ringan. Beban itu sangat berat, dan lebih-lebih lagi di musim sawah tidak panen, karena diganggu hama, atau pepohonan seperti durian, manggis, cengkih, dan lain-lain karena musim kemarau panjang hingga tidak berbuah, maka untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya sekolah, kadang terpaksa harus hutang ke tetangga kanan kiri.
Uraian tentang betapa berat beban kedua orang tua seperti yang aku kemukakan tersebut, sebenarnya belum seberapa. Masih banyak cerita yang lebih mengharukan lagi, sebagai bentuk perjuangan orang tua agar anak-anaknya sukses sekolahnya, hingga katanya, supaya menjadi orang.
Orang tua menginginkan agar anak-anaknya menjadi orang yang berilmu sehingga kelak bisa mengabdikan dirinya di tengah masyarakat. Ayah selalu memberikan doktrin, bahwa hidup itu jangan sampai seperti bandul, yaitu benda yang keadaannya baru bergerak ketika digerak orang. Bandul sebagai sebutan terhadap orang yang bodoh dan tidak berilmu pengetahuan. Hidup yang baik, menurut ayah dan ibu, adalah yang bisa menggerakkan orang lain dan bukan sebatas yang digerakkan.
Cita-cita, usaha, bimbingan, dan sekaligus pengorbanan yang sedemikian besar. Hal itu tidak terkecuali adalah kedua orang tua saya sendiri, sekalipun hanya sebagai pemuka agama dan guru, yang berjuang agar anak-anaknya memberikan manfaat bagi bangsa, maka aku anggap sebagai pahlawan. Kepahlawanan dimaksud setidak-tidaknya adalah bagi diriku sendiri.
*******
Ayahku Hebat..
Ini adalah bayangan kenangan yang ku rasakan dan ku bayangkan. Catatan penglihatan melalui fenomena keseharian, mengatakan bahwa Ayahku adalah seorang yang hebat. Disamping pekerjaannya yang begitu padat, Ayah juga adalah seorang mekanik handal. Mengapa dikataan demikian?? Karena dengan pengetahuannya yang hanya lulusan STM (Kejuruan), tetapi Ayah dapat dan bisa mengatasi kelistrikan, elektro, mesin, dan bahkan rumah tangganya sekalipun. "hehe..hebat bukan?". Bongkar pasang bahkan membuat rakitan apapun, dapat Ayah kerjakan dengan baik, tepat, paten, dan dijamin hasilnya memuaskan.. !
Ayahku Hebat..
Selama aku tumbuh dewasa ini, aku sering kali menyaksikan banyak perubahan, terutama di rumah yang ku huni (Tempat tinggalku). Ayah yang dahulu memiliki motor satu kini menjadi dua, yang dahulu rumah sepetak kini indah bertingkat, yang dulu gak punya mobil kini punya, dan yang dahulu rumah terlihat kecil kini lebaarrrrr..! Semua tentu karena kerja kerasnya dan juga kasih akungnya.
Ayahku Hebat..
Hobi yang unik dan menarik dari ayahku adalah ngutak-ngatik listrik dan elektronik, tapi yang pasti hebat dan jarang dilakukan oleh kebanyakan ayah dimana-mana adalah "Suka bersih-bersih dan Apik". Di atas, dibawah, dan dimanapun Ayahku, pasti beliau sedang bersih-bersih saat aku melihat ataupun tidak.
Ayahku Hebat..
Itulah yang menjadi kebanggaan buatku. Walaupun dalam keadaan capek pulang kerja, tetapi ketika berada di rumah Ayah tidak pernah diam dan bahkan lupa istirahat untuk pekerjaan-pekerjaan yang ada di rumah. Ayah gak pernah ngeluh, dan Ayahku juga seorang yang penyabar. Ketika pulang dari kerjaanpun, Ayah tidak pernah marah atau bahkan meminta untuk di hidangkan makanan jika tidak ada.
Ayahku Hebat..
Pahlawan tanpa tanda jasa. Itulah sebutan yang juga layak tersandang di pundak seorang ayah, tidak hanya untuk guru semata. Betapa tidak, ayah adalah sosok yang tidak bisa untuk tidak ada dalam kehidupan kita. Ayah menjadi tulang punggung keluarga. Bahkan terkadang lebih dari itu.
Ayah selalu berusaha membahagiakan seluruh isi rumahnya, meskipun itu hanya sebuah nasi bungkus hangat ketika pulang dari kerja. Membawa makanan pulang tanpa berfikir akan kecewa kalau orang-orang yang ada di rumahnya sudah makan. Bahkan terkadang makanan yang dibawanya harus habis tanpa harus dirinya ikut merasakannya juga.
Seringkali memang sosok ayah sangat disegani bahkan ditakuti, baik istri maupun anaknya. Namun, bukan berarti bahwa disegani harus dipuja melebihi pemujaan kita terhadap Allah. Segan dan takut pada sosok ayahpun tidaklah harus berlebihan sebab akan merenggangkan keharmonisan hubungan cinta dan kasih dalam keluarga.
Pahlawan tanpa tanda jasa pantas disematkan pada ayah. Sosok yang tak pernah letih untuk mencari nafkah untuk keluarga. Mencari sesuap nasi dan sekarung berlian harus dipikul ayah. Beban berat keluarga bertumpu pada pundak ayah. Sosok tegar meskipun sebenarnya akan rapuh disaat yang membuatnya memang benar-benar luluh.
Bagiku, ayah pantas disebut pahlawan. Pahlawan tak mesti bersenjata dan bertubuh kekar. Pahlawan adalah sosok yang mampu mengalahkan apa saja yang akan menghancurkan. Tanpa senjata, ayah juga pahlawan. Pahlawan bagi istri dan anak-anaknya. Dan juga untuk semua keluarganya.
Menjadi pahlawan ayah tidak pernah meminta balas jasa atau tanda jasa. Semua dilakukannya dengan niat membawa keluarganya pada kebahagiaan. Kerikil tajam dan ringan dilalui dengan kemahiran menahkodai sebuah rumah tangga. Rumah tangga yang lebih kompleks dari sekedar mengendalikan sebuah kapal raksasa. Sebuah komunitas pribadi yang nasibnya sangat ditentukan oleh sikap pahlawan dari sang ayah.
Pahlawan tak mesti dengan segala bentuk peralatan perang untuk mengantisipasi sebuah invasi serangan, namun sosok ayah sebagai pahlawan adalah sebuah figur yang harus menyiapkan mental dan logikanya untuk keluar dari sebuah permasalahan yang besar. Kepiawaian sosok ayah sebagai pahlawan dalam menghadapi berbagai jenis masalah dalam rumah tangga adalah keharusan dalam kamus kehidupan sosok ayah. Ayah harus tampil di depan sebagai penopang dan juga pemimpin.
Ayah adalah pahlawanku. Betapapun sulitnya menahkodai sebuah rumah tangga, tak pernah mengenal letih untuk terus berjuang. Bekerja dan terus bekerja hingga masa tutup usia. Mengerahkan segala tenaga dan membayarnya dengan kerja keras menjadikan sosok ayah pantas disebut sebagai pahlawan. Meskipun pahlawan dalam skala kecil. Sebab, semua yang besar akan bermula dari awal yang kecil.
Itulah yang akan ku katakan pada semua orang, bahwa aku sangat beruntung memiliki Ayah sepertinya..??? Jadi, aku akan selalu mengatakan bahwa "Ayahku Hebat.."
*******
Ayah….
Saat aku menuliskan ini, aku sedang duduk sendiri di bawah pohon tepat dimana dulu aku dan ayahku menanamnya bersama, Dan sekarang tempat ini menjadi tempatku menuliskan setiap sepiku,  mengukir kepingan pilu yang sebagian terukir pada nisanmu dan sebagian lagi tersimpan pada pesona senja yang menghilang pada langit kelam. Senyum tulusmu serupa lengkung sabit perak diatas angkasa masih saja selalu menemani tidurku yang lelap menghias lembar hari dimana aku masih belum juga bisa berdamai dengan kerelaan.
Ayah….
Sampai saat ini aku masih mengeja dan meraba mengenali setiap rasa yang menjelma dalam setiap hariku. Aku mulai lelah berteman sunyi dalam kamar penuh debu, tembok dinding berlubang sesisa lukisanmu yang kini usang, terperangkap pada kelambu keheningan dan berada dalam ruang yang semakin pengap. Aku jenggah terus bersama dengan diri yang tak pernah mau mengerti dan menerima akan titah - Nya, sungguh aku masih merindukanmu.
Aku masih disini Ayah, masih tetap menahan bulir kristal yang tak henti menerobos benteng pelupuk mata, kembali memungut semua sisa kenangan kita dulu dengan memandangi langit senja dan mulai menanti hujan. Karena setelah hujan turun maka keindahan pelangi akan datang menggantikan hujan, itu yang dulu selalu ayah katakan saat aku mulai mengeluh dengan penatku.
Senja ini hujan turun dengan ritme lembutnya, suara indah rintik-rintik kecilnya jatuh pada seng usang penutup rumah kita tedengar seperti nyanyian malaikat kecil dengan biola mungil mereka. Suaranya syahdu mengalahkan sendu yang selalu merengkuh pilar-pilar sepiku akan kehadiranmu.

Ayah….
Aku benci dengan waktu yang selalu tak bersahabat ini, waktu yang selalu memberi pemisah pada kita untuk saling bercengkrama. Aku juga benci dengan cerita-cerita mereka tentang kebahagian yang mereka dapatkan dari malaikat pelindung yang selalu mereka sebut ayah.
Aku ingin ayah selalu ada untukku, ada dalam setiap ceritaku dan ada tak hanya dalam mimpiku. Tapi aku tahu, Allah telah menuliskan semua ini dengan sejuta keindahan didalamnya, aku percaya bahwa Allah jauh lebih memahamiku dibandingkan diriku sendiri.
Ayah….
Akan kutitipkan rinduku pada deras hujan yang kan berganti dengan bias indah pelangi nanti untukmu. Aku sungguh merindukanmu, mengalahkan rindu padang tandus akan hujan.
Ayah
Semakin aku dewasa semakin jarang aku berkomunikasi denganmu, aura wibawamu begitu kental terasa. Engkau pendiam sekali, hampir jarang aku bertegur sapa dengan dirimu. Meski begitu tak pernah aku meragukan kasihmu padaku. 
Ayah...
Tubuhmu jarang berisi, pernah mungkin, namun dulu sekali. Wajahmu penuh beban dan pikiran. Ayah, bisakah kau berbagi cerita padaku, perihal risaunya hatimu walau hanya secuil saja. Bolehkah aku tahu? Apa yang bisa aku lakukan untuk membuatmu lebih damai? Ayah, apakah engkau bahagia atau pernahkah kau bahagia beberapa tahun belakangan kami semenjak engkau memiliki kami? Ayah, apakah kau pernah menangis? aku tidak pernah melihatmu menangis seumur hidupku. Mengapa kau begitu tegar? Ayah, apakah semua ayah di dunia pendiam sepertimu? apakah semua ayah di dunia berpura-pura bahagia sepertimu di depan kami padahal di belakang kami engkau penuh tekanan dan beban serta kesedihan..?
Ayah
Kami tiga anakmu yang kau sayangi, tak sempat kau tertidur pulas dikarenakan kecemasanmu akan masa depan kami. Kami yang bahagia nantinya engkau yang sengasara dan bersusah payah awalnya. 
Ayah
Tak pernah kau dahulukan kepentinganmu di atas kepentingan kami. Bagimu, apa yang kami butuhkan lebih penting dan itulah prioritas dalam catatan keseharianmu. Ayah, apakah semua ayah di dunia sepertimu? Aku yakin semua ayah di dunia pasti sepertimu. Jika tidak sepertimu aku ragu, apakah mereka-mereka itu benar-benar pantas disebut "Ayah".
Ayah tercinta
Saat itu aku kelas tiga sma, mendapat surat undangan, pemilihan jurusan. Aku tanya pilih jurusan apa, kau sarankan kedokteran saja, kau ingin aku jadi seseorang yang berdedikasi bagi orang lain dan kau juga sempat mengungkit bahwa dokter adalah cita-citaku dulu sewaktu aku masih duduk di Taman Kanak-kanak. 
Ayah 
Memang saat aku masih kanak-kanak asal saja ku sebut profesi itu namun perlahan menjelang dewasa, seiring waktu aku semakin bingung akan jadi apa aku, aku tidak memiliki peta hidup. Jangan salahkan aku ayah, sistem pendidikan Indonesia layaknya mesin yang mengubah anak-anak sepertiku menjadi beo, asal ikut arus saja, kurang kreativitas, menyedihkan..tidak punya tujuan, miris kan yah? ayah aku tidak tahu apa yang aku mau, aku tujuh belas tahun saat itu.
Ayah
Pilihan masuk universitas adalah dilema, aku benar-benar bingung. Yang benar saja ayah, biaya itu cukup mahal untuk kemampuan finansial kita, belum lagi anak-anak yang berkuliah disana rata-rata punya orangtua yang berpendapatan tinggi, mampukah aku menyesuaikan diri dengan mereka nantinya. 
Ayah
Begitu mengerikan aku membayangkan hal itu, aku takut menghadapinya, aku takut jadi stress karena tidak mampu mengikuti lifestyle teman-temanku kelak, aku takut tidak punya teman,
Ayah
Saat itu kau hanya tersenyum mendengar protesku, jawabanmu sederhana "masalah uang adalah masalaku bukan masalahmu jadi tak perlu kau pikirkan, tugasmu adalah berusaha dan belajar giat dan tak mengecewakan aku, masalah takut terpengaruh gaya hidup itu wajar dan aku yakin kamu bisa mengatasinya"
Ayah
Kau begitu percaya aku.  Aku hanya bisa diam dalam hati aku meragu, mampukah aku menjadi seperti yang kau duga
Ayah
Umurku sudah dua puluh dua tahun, dan bulan Oktober tahun depan akan naik menjadi dua puluh tiga,sedihnya, aku masih saja menjadi gadis kecil yang menjadi beban dalam hidupmu walau kau tak pernah menganggapku demikian. Ayah, terima kasih karena sejak aku kecil, telah banyak hal yang kau persiapkan untuk masa depanku.
Pernah suatu hari engkau berkata, "anakku mungkin ayah tak bisa wariskan banyak harta dan tanah, ayah cuma mampu sekolahkan kalian setinggi mungkin semampu ayah, supaya kalian jadi anak yang berpendidikan, tidak direndahkan banyak orang, santun sikapnya, rajin ibadahnya, ayah dan ibu tak harap balasan uang jika kalian sukses nanti, ayah cuma harap kalian bahagia jika ayah tiada, akur dengan adik, kakak dan abang, saling bahu membahu, jangan bertengkar  , sedih hati ayah melihat kalian bertikai, saat ayah tiada nanti, ayah ingin kalian hidup dalam damai dengan begitulah ayah bisa hidup dalam damai, apa yang ayah lakukan ini iklas, karena kalian tanggung jawab ayah dengan Allah..dan bila kau sukses nanti, lantas janganlah kau jadi anak yang sombong, ingatlah masa lalu dan kerasnya hidup yang kau lalui di masa lalu, jangan berhenti bersyukur atas apa yang kau raih kelak, bantu kedua adikmu jika mereka butuh bantuan kelak"
Ayah kata-katamu buatku begitu haru, setelah kau berlalu perlahan aku menyusup dalam kamar, mendekamkan bibir ke bantal, menangis tertahan, aku takut kau mendengarkan tangisku. Aku anak gadismu yang kuat, aku tak ingin terlihat lemah di depanmu, aku ingin terus jadi kebanggaanmu, membawa nama baikmu hingga suatu saat kau dan ibu bisa tersenyum dan berkata "itu anak gadisku dan pengorbananku tidak sia-sia".
Ayah
Sebelumnya aku minta maaf. Aku terkadang juga pernah nakal, berfoya-foya tak sesuai pemasukan, seharusnya aku bisa lebih hemat, seharusnya aku bisa lebih sederhana, seharusnya aku sadar posisiku seperti apa. Uang gaji dari bekerja jarang ku tabung malah ku habiskan untuk jajan, beli baju, beli make up untuk berhias untuk terlihat cantik, ah, benar-benar aku tidak bersyukur. aku sadar diri, aku menyesal, kenapa aku tak menabung hasil jerih payahku dulu.
Kenapa ku habiskan begitu saja untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. kenapa aku tidak jujur saja ke teman-temanku jika aku tak mampu mengikuti gaya hidup mereka sejak dulu, kenapa aku begitu gengsi untuk mengakui kondisiku sendiri. Ah, ayah, darahku di penuhi jiwa muda yang menggelora, banyak sekali hal-hal duniawi yang aku inginkan, ingin ini ingin itu, ingin sepatu ini ingin sepatu itu, andaikan aku lebih bersabar untuk saat itu, tak terlalu memikirkan akan hal itu. Ayah, aku menyesalinya sekarang.
Ayah
Aku juga terkadang menyakitimu secara terang-terangan atau sembunyi sembunyi, andai kau tahu bagaimana aku yang sebenarnya, apakah kau mau memaafkan aku? apakah kau masih akan membanggakan aku seperti dulu. Ayah jika aku sedang mencintai orang lain melebihi cintaku padamu apa kau cemburu?
Ayah
Aku malu sekali, malu karena aku tak secemerlang yang kau harapkan. Aku lulus gelombang dua ayah, bukan gelombang satu dan aku tak bisa meraih predikat cum laude. Pasti ayah dan ibu dari teman-temanku yang Cumlaude bahagia dan bangga sekali pada anaknya ya kan Ayah? aku yakin saat kau menonton proses judisium dan wisudaku dari jauh dalam hati kau berharap nama anakmu yang tersemat dengan predikat itu, ah, kenyataannya tidak seperti itu, Aku malu , aku kecewa pada diriku sendiri, tapi di sudut sana aku melihat sinar matamu menatapku bangga, aku yang tanpa predikat apa-apa, aku yang hanya mendapat gelar Kepustakaan dengan predikat sangat memuaskan. Kau tersenyum senang, jelas aku melihat matamu berkaca-kaca. Ayah, apakah kau juga bisa melihat mataku, aku juga berkaca-kaca. Ayah terima kasih. Terima kasih kau masih bangga padaku.
Ayah
Mungkin aku sedikit egois, walau engkau lelah hidup di dunia ini dengan beban segunung, namun aku selalu terus berdoa pada Allah agar Ayah dan ibu diberi umur panjang.. Aku ingin membahagiakan kalian terlebih dahulu. Aku ingin membawa jalan-jalan kalian dengan mobilku kelak, aku ingin kita berhaji bersama, aku ingin kita melepas lelah bersama, aku ingin kalian menikmati masa-masa tua kalian dengan bahagia, tidak seperti sekarang, hidup penuh tensi dan problematika. Aku ingin kalian merasakan kesuksesanku kelak karena jika aku sukses itu bukan mutlak jerih payahku, itu jerih payah ayah dan ibu. Allah, beri ayah ibu waktu untuk merasakan kesuksesan kami anak-anaknya kelak.
Ayah
aku tak berani mengirimkan tulisan - tulisanku inii. Engkau pasti sedih membacanya, aku tidak ingin membuatmu sedih, Mungkin lain waktu, saat kelak ceritanya sudah berbeda. Saat aku sudah jadi "orang" yang kucita-citakan, di saat itu nanti  akan ku selipkan surat ini di pangkuanmu, supaya engkau tahu betapa aku menyayangi dan menghargai setiap tetes peluh perjuanganmu. 
Ayah
Saat ini, tulisanku ini ku bukukan dalam perjalan kisahku. Ayah, setiap tetes perjuangan ayah akan ada dalam setiap jejak langkahku.
Aku mencintaimu.
Putrimu tercintamu
Bulan Oktaria
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung bundabikay.blogspot.com... Thank you for visit bundabikay.blogspot.com
KEB Warung Blogger Komunitas Blogger Bekasi  photo 024da144-a97a-4377-a683-427df5b8ad46_zps7c9d994d.png  photo 574d7220-268e-4447-a81e-b29d43bb9155_zps23255953.png  photo 3ec6ff7f-21fe-439a-bede-d4170b8cbadd_zpsb5204ac3.jpg