Pengorbanan ayah tak pernah ada alasan “kenapa” dan “ada apa”, yang ia
tahu hanya demi kita – Bulan-
Senja merekah menenggelamkan dunia. Matahari perlahan menghilang di ufuk
barat. Dan gelap, mulai merangkak pertanda malam akan segera tiba. Aku di sini,
terpaku sendiri di sudut kamar kos. Ada resah menyelubung, ada gundah yang
membuncah. Mungkinkah rasa tak menentu ini adalah sebuah pertanda? Atau mungkin
hanya sebuah rasa biasa yang tak ada artinya? Aku masih tetap terpaku, membisu.
Pada siapa pula aku harus bertanya? Sementara di rumah kos ini, hanya aku
sendiri penghuninya. Dan, sekeras apapun otakku berpikir, bermacam tanya yang
berjejalan dalam rongga kepalaku tetap tidak terpecahkan. Aku tak mengerti, apa
yang sebenarnya terjadi.
Ah, tiba-tiba saja aku teringat pada Ayah. Keriput yang mulai menghiasi
wajahnya, melintas bagai halilintar dalam anganku. Imajinasiku melayang,
mengingat kisah laluku di waktu kecil bersamanya. Dulu, ketika aku bandel dan
Ibu sering memukulku, Ayah adalah orang pertama yang membelaku. Dulu, saat aku
menangis karena Ibu tak menuruti kemauanku, maka Ayah pula orang pertama yang
menenangkanku. Dan ketika tak seorang pun memepercayai ucapanku, maka Ayah
adalah orang pertama yang dengan ikhlas tersenyum dan berkata, “Nak, Ayah
mempercayaimu. Ayah yakin, kamu tidak bersalah dalam hal ini,”. Tiba-tiba saja
kristal bening berloncatan dari mataku. Aku merindukan masa-masa itu. Masa di
mana aku dulu sangat dekat dengan Ayah.
Ayah adalah seorang pekerja keras. Hanya de