Bulan Oktaria. Menurutmu ini sebuah
nama yang aneh? Atau sangat asing buat telingamu? Entahlah bagiku ini nama yang
sangat indah, banyak makna yang terselip dalam namaku. Ayahku dengan bangga
memberikan nama itu untukku. Sebagai bayi yang baru lahir ke dunia yang masih
memerah saat itu, aku hanya bisa menerima dan menyimpan nama itu dengan penuh
keikhlasan hati. Konon nama tersebut sudah disiapkan ayahku sebelum aku lahir
ke dunia. Aku adalah anak pertama dan mempunyai dua adik laki – laki. Sulit
memang untuk menjadi seorang anak pertama, karena aku harus menjaga dan
membimbing kedua adikku.
Saat awal masuk sekolah tanpa malu aku
deklarasikan namaku kepada seluruh teman – temanku. Aku memperkenalkan namaku
di TK-ku. Namaku bulan, dengan bangga aku perkenalkan didepan kelas. Semua
berteriak memanggil namaku Bulan. Aku semakin senang namaku sudah dikenal oleh
teman-temanku.
Lain halnya saat aku memperkenalkan
diri saat aku kelas 1 SD, semua temanku sempat tertawa, lucu, kata mereka waktu
itu. Tapi aku menganggapnya mereka mengaggumi namaku, setidaknya nama diriku
bisa eksis dalam kelas.
Ayah dan Ibuku seorang guru SD di kota
Solo, karena ayah dan ibu bekerja sebagai guru maka aku bersekolah di tempat
ibuku bekerja. Kehidupan keluargaku sangat sederhana, semua memang harus
disyukuri apa yang Allah telah beri pada kami, begitulah ayahku memberikan
semangat pada kami. Walaupun kondisi keuangan kami pas – pasan, ayahku selalu
berusaha agar aku dan kedua adikku bisa sekolah dan punya pendidikan yang
tinggi.
Aku bahagia bisa bersekolah di tempat
ibuku bekerja. Aku merasakan kebersamaan bersama ibuku yang tak akan pernah
bisa terulang kembali. Aku termasuk anak yang agak susah diatur, saat mau
berangkat sekolah saja, ibuku harus sempat emosi agar aku segera berangkat ke
sekolah. Mungkin kebiasaanku pada saat itu sangat mengganggu pagi ibuku,
bayangkan saja mau berangkat sekolah saja, aku masih asyik dengan mainanku.
Saat kelas 4 SD aku pindah sekolah,
karena ibuku mengajar di SD yang lain, aku hanya patuh mengikuti jejak langkah
ibuku. Aku memang sedih karena harus berpisah dengan teman-teman baikku. Tak
jauh berbeda di sekolah yang baru, aku memperkenalkan diri di depan kelas,
masih saja ada yang tertawa dengan namaku, Bulan. Memangnya ada apa dengan nama
Bulan, sempat aku berpikir dan senyum-senyum sendiri ternyata fans beratku
bertambah. Untung saja aku tidak dipanggil orang gila gara-gara senyum-senyum
ga jelas.
“ Bulan, kenapa kamu senyum – senyum sendiri?”
bisik guruku.
Bisikan guruku membuat mukaku merah,
malu, awal masuk sekolah kenapa harus senyum ga jelas. Aku hanya melempar
senyuman sebagai jawaban.
Guruku segera menunjuk tempat duduk
yang kosong, segera aku kesana dan duduk penuh kenyamanan.
“hei… namaku warna” teman dudukku memperkenalkan diri dengan
sambutan senyumnya yang hangat.
Kaget, segera aku sambut tangannya dan
balas senyumnya dengan senyuman terbaikku. Jika ada lomba senyum maka senyumku akan
jadi juaranya, senyumku itu memang yang terbaik, minimal bagi diriku.
Warna, sahabat pertamaku di tempat
sekolah yang baru. Sahabatku memperkenalkan diriku pada teman-temannya, Vita
dan ada si kembar Rana dan Rini. Karena sifat bawaanku yang pemalu jadi aku
memperkenalkan diri dengan sedikit malu, tapi tak apalah.
Saat berkenalan aku melihat Ibuku
tersenyum dari kejauhan, hari pertamaku disekolah sudah mempunyai teman dan
akan bertambah temannya setiap hari, mungkin pikir ibuku seperti itu. Kebiasaan
di sekolah sebelumnya memang aku selalu diam saat istirahat atau ke tempat
ibuku sebagai teman untuk mengobrol.
Ya entah kenapa… mungkin bawaan namaku
Bulan yang memang selalu bersinar sendiri, memang sih kata ayahku, diriku lahir
saat bulan purnama yang cahayanya begitu cerah tapi tak ada bintang yang
menemaninya. Setidaknya bulan purnama saat itu sedang tersenyum bahagia atas
kedatanganku ke dunia. Ataukah memang sudah ada keturunan genetik pada saat aku
lahir, aku harus bersinar sendiri? Atau sinarku harus aku redupkan? Biarlah
perjalanan hidupku yang menjawabnya, redup atau bersinar…..
Begitu anehnya memang saat disekolah, semua
anak – anak perempuan mulai heboh dengan idola – idola ganteng mereka, sedangkan
aku memilih tenggelam dalam kesendirian dan terlukiskan dalam setiap gambarku.
Aku bisa menciptakan duniaku sendiri, aku bisa menciptakan Allahku sendiri
dalam gambarku, rasa sukaku, aku bisa menjadi angin yang bertiup kencang, air
yang mengalir deras, aku bisa menjadi apa saja yang aku mau, termasuk Bulan
yang bersinar saat langit hitam.
Saat mengenal Warna, aku mulai sedikit
berbeda, diperkenalkan diriku pada dunia persahabatan. Tak mentertawai namaku
atau meledekku. Dia mengajariku tentang warna – warni hidup. Terhapus sudah
kesendirianku. Sudut mataku hanya tertuju pada Warna.
Tapi perubahan duniaku tak begitu
lama, setahun kemudian, ibuku pindah mengajar ketempat yang lain. Ibuku seorang
guru PNS, ibuku siap dipindahkan kemana saja. Aku menangis, kehilangan
sahabatku, mungkin aku tidak akan menemuinya kembali.
Hidup ini memang selalu diberikan
pilihan tetapi saat ini pilihan ini harus dipaksakan padaku. Mengikuti setiap
jejak langkah ibuku. Jika ada pilihan lain aku ingin bersama Warna, seorang
anak perempuan yang selalu mengenalkan warna hidupku.
Sebelum aku berpisah, sepucuk surat merah
dengan hiasan bunga dan bertuliskan sahabat ada pada kolong mejaku, segera
kubuka surat itu.
aku adalah temanmu, Bulan. Kita
bersahabat, namamu akan teringat dalam kehidupanku, kita akan selalu saling
menyapa dalam kejauhan, Warna. Aku menangis membaca surat dari sahabatku,
Warna. Bergegas aku mencarinya, berlari, ingin segera aku memeluk sahabatku.
Akhirnya kutemukan sahabatku, Warna.
Duduk anggun dibawah pohon, segera aku memeluknya. “Warna….” Tangisku menetes
kebumi.
Warna hanya tersenyum, kulihat matanya
berkaca-kaca, sepertinya ia menahan agar air matanya menangisi kepergianku.
“Kamu adalah Bulan yang selalu ceria”
kata-katanya membuat aku semakin menangis.
Pada kokohnya pohon yang tertanam,
kami berdua berjanji akan mengingat persahabatan ini. Kata – kata selamat tinggal terlarang bagi
kami, sampai bertemu kembali, bisikan Warna pada tangisanku. Suatu saat aku
akan mengunjungimu Warna.
Ibuku memanggilku dari kejauhan,
bergegas menuju suara ibuku. Langkahku terus tertuju pada Warna, melihat Warna
menumpahkan air matanya yang tertahan.
Kita akan bertemu kembali Warna……